Bab Bolehnya Menjawab Fatwa dengan Isyarat Tangan dan Kepala
Bersama Pemateri :
Ustadz Maududi Abdullah
Bab Bolehnya Menjawab Fatwa dengan Isyarat Tangan dan Kepala بَابُ مَنْ أَجَابَ الفُتْيَا بِإِشَارَةِ اليَدِ وَالرَّأْسِ ini merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Maududi Abdullah, Lc. dalam pembahasan Kitabul ‘Ilmi dari kitab Shahih Bukhari. Kajian ini disampaikan pada 18 Shafar 1439 H / 07 November 2017 M.
Status Program Kajian Kitab Shahih Bukhari
Status program kajian Kitab Shahih Bukhari: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa pekan ke-1 dan ke-3, pukul 10:00 - 11:30 WIB.
Download mp3 kajian sebelumnya: Bab Keutamaan Ilmu – Kajian Shahih Bukhari
Ceramah Agama Islam Tentang Bab Bolehnya Menjawab Fatwa dengan Isyarat Tangan dan Kepala – Kajian Shahih Bukhari
Isyarat adalah bagian daripada bahasa. Bisa untuk saling memahami, mengungkapkan sesuatu yang kita inginkan dan bisa diterima oleh orang yang diberikan isyarat itu kepadanya. Maka isyarat adalah bagian dari komunikasi. Manakala seseorang bertanya kemudian dijawab dengan isyarat dan isyarat itu sesuatu yang difahami oleh orang yang bertanya dan diyakini pemahaman itu tidak akan melenceng, maka boleh menjawab fatwa walau hanya dengan isyarat tangan. Boleh berfatwa menjawab pertanyaan ketika ditanyakan tentang fatwa walau dengan hanya isyarat kepala.
Haditsnya dibawakan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullahu ta’ala, berkata Imam Al-Bukhari:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ ، قَالَ : حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَيُّوبُ ، عَنْ عِكْرِمَةَ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ فِي حَجَّتِهِ فَقَالَ : ذَبَحْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ ؟ فَأَوْمَأَ بِيَدِهِ ، قَالَ : وَلاَ حَرَجَ قَالَ : حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ ؟ فَأَوْمَأَ بِيَدِهِ : وَلاَ حَرَجَ
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il berkata telah menceritakan kepada kami Wuhaib berkata telah menceritakan kepada kami Ayyub dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas; bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya seseorang tentang haji yang dilakukannya orang itu bertanya: ‘Aku menyembelih hewan sebelum aku melempar jumrah’. Beliau memberi isyarat dengan tangannya yang maksudnya ‘tidak apa-apa’.’ Dan aku menggundul sebelum menyembelih’. Beliau memberi isyarat dengan tangannya yang maksudnya ‘tidak apa-apa’.”
Didalam hadits ini jelas bahwa Nabi kita tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah sebaik-baik dan semulia-mulia orang yang memberikan fatwa. Dan tugas beliau adalah menjelaskan agama dengan sejelas-jelasnya. Tugas kita adalah menyampaikan dengan keterangan yang sangat jelas. Agama telah ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan terang-benderang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
“Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.”(HR. Ahmad)
Inilah tugas para Nabi dan para Rasul. Menerangkan risalah Allah tabaraka wa ta’ala kepada manusia dengan keterangan yang jelas dan tegas. Sehingga umat benar-benar mengerti, paham dan tidak lagi ragu akan agamanya. Dan didalam hadits ini sebaik-baik orang yang mengeluarkan fatwa yaitu Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan menjawab pertanyaan dengan isyarat tangan. Tidak dibahas bagaimana gerakan tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjawab. Intinya Nabi memberikan isyarat dengan tangannya yang dipahami oleh penanya, “tidak apa-apa”. Dan itupun sebelumnya beliau telah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan lisan ketika beliau mengatakan, “tidak apa-apa”.
Pertanyaan ini ditanyakan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji pada tahun 10 Hijriyah. Dan pertanyaan ini adalah pertanyaan seputar amalan haji ditanggal 10 Dzulhijjah. Dan amalan haji di tanggal sepuluh Dzulhijjah ada empat. Yaitu melontar, menyembelih, mencukur, dan tawaf.
Pertama, melontar jumroh aqobah dengan 7 lembaran kerikil kerikil kecil batu-batu kecil bertakbir untuk setiap lontarannya.
Kedua, menyembelih hewan sembelihan haji. Yang mana didalam Al-Qur’an dan didalam hadits namanya hadyu. Orang sekarang menyebutnya dengan dam tamattu’. Sebenarnya penyebutan yang ada didalam Al-Quran dan hadits bukanlah dam, akan tetapi hadyu. Dan sebaiknya umat Islam menyampaikan atau menyebutkan istilah ini dengan istilah yang ada didalam Al-Quran, istilah yang ada didalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman dalam Al-Quran surah Al-Baqarah:
…وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ …
“…dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya…” (QS. Al-Baqarah[2]: 196)
Demikian perintah Allah dan penamaan penyembelihan ini tegas didalam Al-Quran. Namun banyak orang sekarang berubah dalam penyebutan menjadi dam. Sementara dam adalah penyembelihan pelanggaran. Kalau ada pelanggaran-pelanggaran dimusim haji dari pelanggaran-pelanggaran manasik, maka disembelih seekor kambing sebagai denda pelanggaran, sebagai konsekuensi daripada pelanggaran tersebut. Contohnya orang yang berihram telah melewati miqat. Padahal seharusnya dia berihram di miqat. Orang yang harus yang menginap di Mina tapi dia tidak menginap di Mina.
Maka dam adalah hewan pelanggaran. Adapun hadyu tidaklah hewan pelanggaran. Namun dia adalah hadyu. Kalau hewan pelanggaran, pembayaran kafarat denda atas kesalahan melaksanakan manasik, maka dagingnya tidak boleh dimakan oleh yang membayar denda. Adapun hadyu, justru disunnahkan, dianjurkan untuk kita makan dan kita nikmati sebahagian.
Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih 100 ekor unta sebagai hadyu. Lalu dari setiap unta diambil dagingnya dan dimasak dalam satu wadah dan beliau makan. Beliau tidak mencukupkan daging sekor hadyu saja, namun diambil dari setiap unta tersebut dan jumlahnya ada 100. Oleh karena itu hadyu dan dam berbeda. Saya ingin mengingatkan kaum muslimin dan kaum muslimah terutama yang akan berangkat haji untuk tahun yang akan datang.
Hadyu dan dam berbeda. Diantara yang membedakannya adalah apa yang paling kita sebutkan soal makan dan tidak makan hewan sembelihan tersebut. Dan diantara perbedaannya adalah waktu penyembelihan, inilah yang paling penting. Hadyu memiliki waktu penyembelihan. Waktunya sama dengan waktu hewan qurban. Dimulai dari tanggal 10 Dzulhijah dan boleh diundur sampai terbenamnya matahari pada 13 Dzulhijjah. Dia memiliki waktu yang terbatas untuk penyembelihan. Ada waktu mulai dan waktu akhir. Oleh karenanya lihatlah ketika Allah mengatakan:
…وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ …
“…dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya…” (QS. Al-Baqarah[2]: 196)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan hadyunya tanggal 10. Seandainya boleh sebelum itu, tentu beliau akan melakukannya. Namun arena waktu penyembelihan hadyu dimulai pada tanggal 10, maka Rasulullah melakukannya pada tanggal 10. Dan baru setelah menyembelih hadyu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukur rambutnya. Adapun hewan dam penyembelihannya tidak ada batas waktu. Boleh dilakukan kapan pun asal tetap dilakukan di tanah Haram, Mekah.
Banyak sekali orang yang memperlakukan dam tamattu’ dalam istilah mereka atau hadyu dalam istilah syariat. Sering sekali jamaah haji itu menyembelihnya sebelum tanggal 10. Ini kesalahan. Dan kesalahan ini bermula dari kesalahan penyebutan. Seharusnya hadyu disebut dam. Lalu ketika membaca hukum-hukum tentang dam, dam boleh disembelih kapan saja. Sehingga akhirnya penyebutan nama melahirkan kesalahan dalam pelaksanaan.
Dalam hadits ini, ada yang mengatakan wahai Rasulullah, “saya menyembelih sebelum saya melompat.” Orang ini mendahulukan menyembelih sebelum melontar.
Nabi memberikan isyarat dengan tangannya, “tidak apa-apa” Kemudian ada lagi yang bertanya, “aku menggundul sebelum menyembelih”. Beliau memberi isyarat dengan tangannya yang maksudnya ‘tidak apa-apa’.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan para sahabat di tanggal 10 Dzulhijjah. Beliau mencukupkan dengan isyarat yang dipahami Inilah dia yang dibawakan untuk judul bab oleh Imam Al-Bukhari rahimahullahu rahmatan wasi’ah. Bahwa boleh menjawab dengan isyarat manakala isyarat itu difahami oleh orang yang bertanya. Dan bahasa isyarat secara umum masyhur. Sehingga orang-orang yang tidak ada komunikasi karena perbedaan bahasa pun sering berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Dia adalah bagian dari pada ungkapan apa yang kita inginkan.
Simak pada menit ke – 26:36
Simak Penjelasan Lengkapnya dan Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Bab Bolehnya Menjawab Fatwa dengan Isyarat Tangan dan Kepala – Kajian Shahih Bukhari
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/45411-bab-bolehnya-menjawab-fatwa-dengan-isyarat-tangan-dan-kepala/